Hati siapa yang tak getir rasanya menjumpai gadis seumur jagung yang selalu ceria walau dan tanpa cerita hedon dimasa putih abu-abunya. Miris boleh dikata, tertegun melihat ketabahan mengalahkan ruas samudra batas kepulauannya yang sangat jauh diujung peta sana, yang rela menukarkan bahasa gaoel remajanya untuk membelalak beralih ke pepak bahasa jawa.
Jauh dari keluarga, terutama orang tua merupakan kali pertama baginya, tetapi tak lupa keluarga selalu mendorongnya agar tetap semangat. Kudapati percakapannya melalui telepon genggam dengan surganya (orang tua) di pulau seberang, memakai bahasa yang takku mengerti inti dan sarinya sebelah mana. Kegembiraan mendapat telepon dari surganya mungkin tak dapat kutafsirkan sedemikian rupa.
Menurut pemikiran santri-santri umumnya, tak ada yang sulit menjadi seorang santri, tetapi bagaimana
dengan seorang gadis yang tidak dan belum pernah sama sekali menyelam di dunia pesantrian. Berimigrasi dari gadis minang, daerah dimana tempat yang dikelilingi dengan orang-orang bisa dikata elit, daerah yang sangat ramai, kini belajar beralih menjadi santri jawa, beralih ketempat yang jauh dari perkotaan, jauh dari peradaban, tempat yang dikelilingin dengan hutan belantara yang dari mulanya pergaulan bebas menjadi terbatas.
Mengubah kebiasaan memanglah tak mudah, tetapi sekarang mengubah kebiasaanlah yang harus dibiasakan olehnya. Gadis yang terbiasa dengan musik-musikan serta iringan tari yang sudah menjadi hobinya sejak dulu. Kini berpindah dengan memahami sekumpulan kitab-kitab kuning yang tak sama sekali dimengerti makna dan maksud dari kitab tersebut, walaupun demikian, istiqomah adalah bagian utama baginya dalam menjalani hidup yang baru.
Sedemikian perjalanan hidupnya, tak ada kata penyeselan, tak ada pengeluhan, semangat selalu menemani setiap perjuangannya. Baik semangat dari keluarga, teman dan orang-orang disekelilingnya.
Kini dijalaninya hari-hari dengan baik, menikmati segala aktifitas-aktifitas santri pada umumnya. Bersyukur dengan kehidupan sekarang, ia merasa bersyukur atas kenikmatan yang ia rasakan selama menjadi santri, ia merasa lebih tenang, hidup damai, tentram, dan jauh lebih baik dari hari-harinya sebelum menjadi seorang santri
SMK Peradaban Desa, nama yang terdengar asing baginya, merupakan sekolah lanjutan yang ia masuki di jawa. Sekolah yang berbeda dari sekolah pada umumnya, yang hanya melaksanakan pembelajaran formal 3 jam dalam sehari. Sekolah yang sekaligus menyediakan Pondok Pesantren yaitu Baitul kilmah yang terletak di desa dimana tempat yang jauh dari keramaian, sepi, sunyi, hening, Sekolah yang mendalami tentang litersi karena pengasuh dari sekolah tersebut seorang sastrawan. Beliau bernama Dr.Kh Aguk Irawan MN, siapa yang tidak mengenal beliau, di jawa hampir disemua daerah orang mengenal karya-karyanya. Bahkan karyanya sudah diterbitkan menjadi sebuah film.
Di Baitul Kilmah merupakan tempat berbasis pondok literasi yang disediakan untuk mahasiswa dan siswa tingkat SMK. Itulah yang disukainya disana karena banyaknya mahasiswa ia sering ikut berkecipung bersama mahasiswa/mahasiswi ketika berdiskusi, karena memang kesenangannya itu berdiskusi, berkumpul, dan saling bercerita. Seperti kebiasaannya dulu di pulau seberang.
Tak hanya literasi, santri-santri baitul kilmah juga belajar agama seperti pondok-pondok pada umumnya, seperti belajar kitab, mujahadahan, ngaji bersama, jamaah setiap sholat, dan berbagai kegiatan-kegiatan menyenangkan yang membuat ia nyaman disana
Masyaallah begitulah perjuangan orang diseberang sana membelalak ke pulau jawa demi menuntut ilmu.