Satu setengah tahun yang lalu, saya berangkat ke Jogja tanpa arah tujuan. Saya tidak punya animo apapun di Jogja dan tidak pernah membayangkan akan jadi apa.
Sebenarnya ingin kuliah, tapi apa daya seorang gembel seperti saya yang tidak punya legalitas kertas untuk daftar kuliah. Saya pernah sekolah, tapi ijazah saya masih ditahan di lembaga sekolahan dulu karena ada tunggakan biaya uang gedung.
Waktu itu, Saya berangkat ke Jogja menaiki bus EKA. Sampai terminal Giwangan, saya dijemput salah satu teman yang sudah kuliah di salah satu kampus di Krapyak.
Saya hanya bermodalkan uang lima ratus ribu untuk biaya hidup selama di Jogja. Sampai Jogja, saya klontang-klantung tak punya tujuan. Hidup saya, mulai makan, pakaian, dan sabun, bergantung pada beberapa teman.
Motivasi saya berangkat ke Jogja adalah —kata orang— banyaknya intelektual-intelektual mastur (tidak menampakkan diri) yang rendah hati namun tak rendah diri dan tidak sombong. Dari itu saya ingin menimba ilmu di Jogja, meskipun saya tahu saya tidak punya keahlian apa-apa.
Keberangkatan saya ke Jogja waktu itu sama sekali tidak terobsesi tentang keeksotikan dan keestetikaan Jogja seperti kebanyakan orang bilang. Orang bilang, Jogja diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Hal itu dibuktikan dari segala sisi —menurut perspektif wisatawan— di Jogja yang eksotik dan estetik, sebut saja, misalnya Malioboro, Tugu, 0 KM, dan banyak lagi lainnya. Nuansa yang ada di segala penjuru Jogja seakan memberikan kesan evokatif terhadap setiap wisatawan.
Tak hanya eksotik dan estetik, Jogja juga diyakini sebagai kota yang damai dan tenteram. Namun, bukan itu awal tujuan saya ke Jogja.
Segala puji bagi Tuhan, saya ditakdirkan mengenal sosok Pak Aguk yang membimbing saya untuk bisa menulis dan menghasilkan uang.
“Menulislah! Lumayan bisa buat makan,” ucapnya waktu itu yang membuat saya kagum. Bayangkan, Pak Aguk mendoktrin saya menulis untuk makan. Dan itu asyik. Saya dididik untuk tidak muluk-muluk kalau menulis itu niatnya untuk menyebarkan ilmu, menginspirasi banyak orang, dan blablabla, tetapi dia memotivasi saya menulis untuk bisa makan. Its amazing for me.
Semenjak itu, saya tinggal di Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah yang diasuh olehnya. Baitul Kilmah terletak di tengah hutan sehingga suasananya asri dan sejuk.
Beberapa bulan di sini, agaknya saya memercayai bahwa Jogja adalah kota eksotik dan estetik. Lebih dari itu —menurut saya—, Jogja adalah kota yang unik dari segala sisi. Katakan, misalnya, sistem pemerintahan Jogja masih di bawah naungan Kesultanan yang sangat tawassut (moderat) dan relevan dengan zaman, meskipun jika ditilik sistem kesultanan adalah sistem pemerintahan zaman old.
Tak hanya itu, ulama’-ulama’ di Jogja lebih welcome daripada di daerah lain. Keulama’an ulama’ Jogja agaknya dibungkus rapi oleh nuansa kebudayaan yang lekat.
Sebut saja Pak Aguk. Siapa budayawan tidak kenal Pak Aguk? Namanya menggaung, bergema di mana-mana. Tulisan-tulisannya yang evokatif dan membangun itu membuatnya menjadi sastrawan nomor wahid di Jogja. Namun, di balik itu, dia sangat getol dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik. Karena keahliannya dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik, Kepala Suku Mojok, Pak Puthut EA sampai-sampai rela datang ke tengah hutan untuk mewawancarainya tentang terjemahan kitab Tafsir Al-Jaylani yang akhir-akhir ini sedang booming.
Oke, kembali lagi pada saya. Saya di Jogja tidak hanya merasakan kebahagiaan, lebih dari itu adalah ketenangan dalam merasai dan memaknai hidup, terlebih saat di Baitul Kilmah, sebuah pondok yang dibangun di tengah hutan dengan nuansa klasik; rumah joglo dab ukiran khas Jepara.
Namun, dekat-dekat ini, Jogja digemparkan berita tentang klitih, tawuran massal di Babarsari, dan lain-lain hingga munculnya hastag ‘Jogjasedangtidakbaik-baiksaja’. Namun buat kamu yang sudah jatuh cinta pada Jogja, apakah itu berdampak pada ketenteraman dan kedamaian Jogja selama bertahun-tahun?
Yang ironis, saya kemarin scroll-scroll facebook dan mendapati sebuah curhatan yang isinya begini:
Saya sebenarnya niat kuliah di Jogja karena melihat teman saya menjadi penulis sepulang dari Jogja saat liburan kuliah. Namun setelah mendengar kabar tentang klitih dan beberapa keributan yang terjadi di Jogja, orangtua saya tidak mengizinkan. Mereka khawatir keselamatan saya terancam.
Saya hanya ingin memberi pertanyaan pada kamu yang membikin curhatan itu: “Apa Jogja sesempit bayanganmu?” Jogja itu provinsi, Bro, bukan kecamatan, kabupaten, apalagi desa. Bukan.
Di tempat saya menetap, di Pajangan, Bantul, tidak ada keributan apapun yang terjadi. Suasananya hutan tok wes malahan.
Namun tidak salah juga sih kamu —yang buat curhatan itu— jika khawatir keselamatanmu terancam. Itu wajar. Manusiawi.
Yang ingin aku sampaikan, sependek yang saya tahu, di Jogja masih baik-baik saja, masih tenang-tenang saja, masih tentram-tentram saja. Jangan takut bila akan ke Jogja. Konflik hanya berlaku bagi pelaku konflik. Kalau kamu ingin kuliah dan belajar di Jogja, aman-aman insya Allah.
Keributan berlaku bagi mereka yang terlibat. Kalau kamu di Jogja untuk berwisata, aman-aman kok insya Allah. Lakum konflik antum, wa lana sakinatan (Untuk kalian konflik kalian, untuk kami ketenangan). Lakum keributan antum, wa lana kedamaian (Untuk kalian keributan, untuk kami kedamaian).
Untuk Jogja, semoga selalu baik-baik saja. Keestetikaanmu, semoga juga tak lekas luntur seperti pupur, seperti puisi Joko Pinurbo: “Semoga kecantikanmu tak lekas luntur seperti pupur.”