Wa Ma Adri: Saya Tidak Tahu!
Catatan Diri Sendiri (1)
Belakangan, saya disibukkan oleh the art of making microspace sampai terlantar segala yang sifatnya fundamental dalam diri sendiri. Saya keterlaluan narsistik. Apa-apa ingin diketahui manusia yang jumlahnya tak lebih besar dari setetes air laut dalam jemarimu, Kawan. Hati saya dipersuasifi oleh tren. Dan kepala saya hanya dipenuhi oleh memolitiki segala yang mengenyangkan perut pribadi.
Microspace membikin kemanusiaan pudar, blur, bahkan hilang sama sekali sebab sebagian besar hidup saya seakan dituntut dan diawe-awe terus-menerus oleh yang namanya trend. Saya ngebet (gesa-gesa) ingin viral. Ironisnya, yang dilihat oleh segelintir manusia dalam microspace saya amatlah tidak sejajar lurus dengan kasunyatan. Yang baik-baik saja. Dan itu sangatlah memengaruhi pandangan mereka menilai saya dalam kasunyatan.
Saat saya terangkan dan mengakui kekhilafan tentang ketidaksejajaran antara yang saya unggah di microspace saya dan kasunyatan dalam macrospace, mereka menolak. Saya bingung harus bagaimana. Tergerus oleh dunia microspace membikin saya disayat-sayat kenyataan. Ketenangan saya bak karang yang dihempas ombak dan riak: semakin pipih dan titik, dan kempat kemudian terbelah.
Kepada dan dengan manusia, saya kebigungan memosisikan diri. Seperti senja, saya hanya bayang-bayang tetapi di-demeni, disukai oleh manusia. Padahal diri saya tertutup kabut dan mendung. Penilaian itu membikin saya sulit harmonis dengan diri sendiri. Diwanti-wanti oleh Maulus: “Manusia yang tidak berdamai dengan diri sendiri, sulit berdamai dengan alam.”
Saya tersiksa dan tersayat oleh kenyataan yang saya buat sendiri. Suatu benteng dan hijab yang tebal bernama akun media sosial itu telah membikin saya banyak kehilangan keorisinilan diri. Misal, seorang bertanya kepada saya terkait konteks filsafat Timur seperti yang saya tulis di Instagram. Mereka mengajak saya diskusi. Entah, hanya ingin ngetes saya, atau memang bertanya. Saya tidak bisa menjawab. Sulit sekali bagi diri saya untuk mengakui ketidaktahuan dari jawaban yang mereka tanyakan. Ya Allah.
Dan bodohnya saya adalah, bahwa yang saya tulis itu hanyalah cuplikan dari kegumedean saya menyikapi suatu wacana. Saya ini aprioris. Saya ini tidak tahu. Namun, kadang saya jawab pertanyaan mereka secara tidak efektif; menjawab dengan jawaban yang sejatinya aalah bias dan bersifat 0tak-atik= matuk. Padahal, betapa jahatnya saya.
Andaikata manusia didesign mempunyai wadah yang mewadahi kemunafikanya, mungkin sebanyak apapun wadah tak cukup untuk menampung kemunafikan yang saya lakukan. Saya ini ketulung ke-Maha Welasasihnya Allah. Maka Syekh Ibnu Athoillah dalam Hikam menyebut: “Seorang hamba, bila dipuji, maka hendaklah ia malu pada dirinya sendiri sebab sejatinya yang dipuji bukanlah semata karena usahanya, tetapi karena pertolongan Allah.”
Demi microspace yang keterlaluan saya design sedemikian tampak sholih, tampak intelektual, tampak kritis dan tajam, “saya tidak tahu.” Tetapi saya menyesali yang terjadi pada macrospace saya hari ini. Saya benar telah merasakan ketidaksejajaran antara micro dan macrospace saya. Saya benar-benar tidak tahu. Manusia boleh menancapkan duri dalam daging saya, boleh mencolok mata saya, boleh menghina dan mencaci saya. Itu hak dan otoritas mereka. Saya akan tetap teguh menyelaraskan ketidaksejajaran antara micro dan macrospace saya.
Sebab, waktu tak pernah berhenti mengintai dan melewati setiap langkahku. Tugas saya tidak menimpali tancapan duri, colokan, hinaan dan cacian manusia, tetapi tugas saya adalah mencari jawaban atas ketidaktahuan saya. Sebab, “saya tidak tahu”.
Tuban, Mei, 2023
Respon (1)