Derita: Eufoni Petikan Kebahagiaan
Catatan Diri Sendiri (2)
Semenderita-menderitanya Engkau, sesengsara-sengsaranya Engkau, apa yang dapat Engkau harapkan dalam ambang hidup yang layu dalam keputusasaan tersebut? Jawabannya ada di hatimu. Dan sebelum menemukan jawaban, seorang perlu berkontemplasi untuk belajar atasnya menurut ranah kecondongan masing-masing. Sebab yang saya dapatkan dari beberapa teman adalah berikut, maka tertulis demikian:
Sebagian orang mungkin pergi jauh dari keramaian, menyendiri lalu menangis sejadi-jadinya. Sebagian orang mungkin justru pergi ke keramaian dengan gumpalan besar api amarah dalam hatinya. Ada yang usil dikit, dihajar dan dijadikan pelampiasan.
Apakah ketenangan adalah tujuan dari penderitaan yang selalu berkutat dalam kawah kehidupan? Pasti tidaklah masuk akal dalam pikir dan nalar bagaimana nasib manusia adalah proses dari lelah dan letih yang dilampaui oleh sebagian orang, bukan? Faktanya, kesedihan kadang semakin sedih dalam sedih yang dirasakan. Realitanya, banyak orang mati dalam genggaman nasib bunuh diri karena pegel dan capek menghadapi penderitaannya.
Memangnya apa sumber penderitaan itu?
Adalah ketidakberdayaan manusia dalam mengolah mindset dan nalar berpikir jernih. Setajam apapun pisau tak berguna di tangan orang mabuk akal dan pikir. Mereka hanya tahu bahwa pisau ini benda tajam. Untuk menajami segala yang lebih tidak tajam daripadanya. Maka hidup yang berharga ini akan terus menderita tanpa tahu arti dan esensi makna hidup.
Sebagian orang menganggap bahwa penderitaan adalah bumbunya hidup. Seperti sambel merupakan hasil dari percampuran antara cabai, bawang putih dan merah, terasi, dan lain-lain. Padahal jelas: sambal itu pasti pedas. Kalau tidak pedas namanya caos.
Hidup juga perlu campuran yang demikian untuk menghasilkan sebuah pencapaian cita-citamu. Maka jangan kau anggap penderitaan sebagai musuh yang mengerikan, musuh yang deskruktif. Toh, andaikata kau ingin menghindar dari penderitaan, semakin penderitaan menghampirimu, semakin ia merusak keindahanmu, memporak-porandakan ketenanganmu. Padahal, penderitaan merupakan konklusi mutakhir dari ujian, bala, musibah yang memang tak akan lekang selama hidup.
Derita dan Ujian
Allah dalam Al-Baqoroh ayat 155, mengidentifikasi:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar.”
Imam ‘Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H), dalam Lataif al-Isyarah Al-Qusyairi menyebut bahwa ujian tidak hanya sesuatu memberatkan, tetapi juga yang menyenangkan. Imam Qusyairi membagi ujian menjadi dua:
1. ujian berupa kenikmatan.
2. berupa kesengsaraan.
ابْتَلاَهُمْ بِالنِعْمَةِ لِيُظْهِرَ شُكْرَهُمْ وَابْتَلاَهُمْ بِالْمِحْنَةِ لِيُظْهِرَ صَبْرَهُمْ
Allah Swt. menguji mereka (hamba-Nya) dengan kenikmatan untuk menampakkan rasa syukur mereka, dan menguji dengan kesengsaraan untuk menampakkan kesabaran mereka.
Maka segala yang memberatkanmu, jangan-jangan adalah bentuk kasih sayang Tuhan atasmu, dan segala yang menyenangkanmu, jangan-jangan adalah ujian atasmu.
Habis Derita, Terbitlah Bahagia
Yang memberatkan hatimu, kadang lebih pipih dari kain paling pipih dalam gosokan lentik jemari; seketika langsung bimsalabim jadi membahagiakan. Apapun yang sifatnya ketidakpastian akan berpotensi mengecewakan. Begitu sebaliknya. Cinta seketika bisa menjadi benci. Benci seketika menjadi cinta. Derita seketika sinar menjelma bahagia. Bahagia seketika menjadi derita.
Derita adalah eufoni dari petikan kebahagiaan. Keterikatan hatimu pada segala sesuatu yang tidak pastilah mengutukmu untuk senantiasa menderita. Hilangkanlah debu-debu itu dari endapan hatimu yang telah berkepanjangan, Kawan. Lintaskanlah pikirmu dalam jernih jalan.
Guru SD-ku menerangkang, kata Ajeng Kartini: “Habis gelap terbitlah terang.” Sebab itu Rumi mengatakan untuk menetralisir jahatnya penderitaan —menurut orang yang lemah seperti saya— dalam salah satu baitnya: “Jangan lari dari luka. Hadapilah. Terlukalah sampai sembuh.”
Saya interpretasikan dengan ketidakberdayaan intelektual bahwa penderitaan itu tidak abadi. Ia pasti akan lenyap, akan sirna, akan musnah. Kalau ia gelap, setelahnya adalah terang—terangnya adalah kebahagiaanmu.
Maka semenderita-menderitanya Engkau, sabarlah. Sebentar lagi, sebentar lagi, kebahagiaan akan menghampirimu. Hadapilah penderitaanmu.
Selebihnya, kontemplasimu adalah lanjutan dari tulisan yang benar-benar cacat dan penuh borok dalam penggunaan diksi dan argumentasinya, Kawan.
Teruskanlah!
3 Mei 2023
Respon (1)