Syakautuka, Ya Bocil! (Aku Sambat kepadamu, Wahai Anak Kecil!)
Catatan Diri (Part 3)
Kalau lagi munafik, saya ingat anak kecil yang mekanisme dan alasan terkuatnya berbuat adalah murni perasaan. Tidak dibuat-buat. Tidak untuk kepentingan politik. Tidak untuk mengeyangkan perut. Mereka menangis kalau hatinya sedang pecah, kacau, sedih, dan bahagia ketika sabana dalam batin dan hatinya sedang berbunga. Ya, seperti itulah mereka: apa yang tampak adalah perasaan.
Sedangkan kita? Yang tampak kadang tak sekalipun mencerminkan keadaan batin. Batinku mengatakan bahwa bohong untuk ngutil dan korupsi itu salah, dosa, tetapi panggah dan bersikolot kulakukan kebohongan itu. Saya kadang iri pada mereka yang hatinya bersih, pada mereka yang selaras dengan perasaannya. Hatinya berkehendak ini, perbuatannya pula ini.
Hatinya menginginkan itu, yang terlaksana juga itu. Tetapi memang, segala yang tampak dikhianati, dapat dimanipulasi, dapat disamarkan, di-blurdkan. Tetapi batin dan hatimu tidak. Ia tidak bisa dibohongi oleh gemerlap dan warna-warni duniawi yang menggiurkan. Ia ada untuk mengawal kemurniaanmu sebagai manusia. Sebagai sparepart awalmu sebagai ahsani taqwim (sebaik-baik bentuk). Maka anak kecil, sebagaimana yang telah sahaya sebutkan di atas, adalah manifesto dari bentuk manusia yang masih suci batinnya.
حديث أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَثَلِ البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاء
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya.”
Kemudian soal kepasrahan, anak kecil berada pada maqom taslim, yaitu sebuah konsep tawakkal yang kapasitas ikhtiarnya itu sedikit. Misal, ketika anak kecil dalam gendongan ibu ingin menyusu, ikhtiar mereka untuk mendapatkan itu hanyalah merengek, menangis, dan kemudian ibu paham bahwa buah hatinya menginginkan susu. Itu anak kecil.
Sedangkan kita? Jawabannya ada di hatimu. Setiap manusia punya maqom masing-masing dalam konsep tawakkal. Lha, kadang-kadang kita ngersula, kemrungsung, ketika sudah mereka powerfull ikhtiar, berusaha, tetapi keinginan tak kunjung terwujud. Lalu, ketika teman atau siapalah yang kita kenal memiliki potensi yang lebih dari kita sendiri kita hasudi, kita iri. Naudzubillah min dzalik.
Seperti anak kecil tadi, kan. Ada ibu yang memberi susu murni dari buah dada beliau, ada yang dibelikan susu SGM, dan susu-susu untuk anak kecil lainnya. Semua adakadarnya.Dan anak kecil tak mengeluh, tak sambat, tak ngersula dan kemrungsung, apalagi mendebat orangtua mereka dikasih susu ibu. Pokoknya ya susu. Urusan susu ibu atau susu SGM itu terserah masing-masing ibunya.
Demikian anak kecil dalam segelintir yang saya tulis dari sekian gulung tak terbatas hikmah-hikmahnya. Saya ini cuma menulis dan menyadur ulang statement, pemikiran dari guru-guru saya. Saya ini hanya mendokumentasikan apa yang saya baca, bukan merekonstruksi ulang, apalagi membikin anti tesis. Mustahil.
Pedoman saya, terlepas dari baik-buruk, tajam-tumpul, ya cuma: waktu terus berjalan, berputar dan berjejak pada langkahmu. Dan matahari, dan bulan, dan bintang, dan bumi, dan daun, dan segala-segala menyaksikanmu. Dan detik ini, saya hanya ingin mengatakan: “Syakautuka, ya bocil!” (aku sambat kepadamu, wahai anak kecil!).
Respon (2)