Oleh Aqib Muhammad KH
Sore aku bicara pada daun sebelum setelahnya gugur,
“Mengapa kamu bisa jatuh di dasar titik nadir sandal dan derap langkah kaki manusia?”
“Karena rindu telah pada puncaknya.” Matanya terpejam, dan kemudian ia mati membawa puncak kerinduan.
Lalu kutanya pada reranting tempat bersemayam,
“Mengapa kau patahkan daun?”
Dan kemudian ia tersenyum.
“Melaksanakan tugas, Tuan. Sebab alangkah jahatnya daku bila tak kuizinkan ia mati, sedang kerinduannya benar-benar menyiksa hidupmu, sedang senyum palsunya sudah tersebar di mana-mana.”
Akar kemudian goyah. Semua yang nampak pada pohon bilung, dan linglung.
“Mengapa kamu bilungkan yang bergantung (padamu), Kawan?”
Daripada yang terhubung dengan akar itu menyembul ke atas tanah.
“Aku menahan kematian, dan menebarkan senyum-senyum palsu di mana-mana. Dan alangkah jahatnya aku bila harus kumatikan diri, sedang yang bergantung padaku masih banyak sekali. Sebab itu, aku memilih bertahan, meski dengan sakit yang demikian dan senyum-senyum palsu.