Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad berasaskan kedamaian. Nabi menempatkan posisi sentral ajaran islam pada aspek damai, humanis, dan altrusitik. Sehingga, ajaran-ajaran islam sebenarnya banyak bermuatan sikap-sikap humanis sebagaimana yang dicontohkan oleh sang Nabi. Hanya saja bagi orang-orang yang tak mendalami islam secara kaffah ia sering keburu menyimpulkan bahwa islam adalah agama perang, patriarkis, tak humanis, dan sebagainya.
Ada salah satu Riwayat yang mengisahkan betapa sisi humanis Nabi Muhammad layak dijadikan teladan. Suatu ketika, ada salah seorang pengemis buta tua dari bangsa Yahudi yang sering mangkal di pasar. Ia disuruh oleh orang kafir Quraisy agar setiap hari mengolok-olok Nabi Muhammad. Sebab, dengan demikian ia bisa mendapat upah. Pengemis buta tersebut setiap hari menghina nabi, mengolok-olok, mengarang cerita bahwa nabi penipu, tukang sihir dan lain-lain. Karena buta, ia tak bisa mencari makanan sendiri sehingga ia hanya mengharapkan belas kasihan dari orang-orang yang menyuapinya makanan.
Karena tua, ia nggak bisa langsung memamah makanan dengan baik. Otomatis, seseorang yang ingin memberinya makanan harus melembutkan makanan terlebih dahulu agar bisa ia makan. Sampailah suatu hari ia mendapati seseorang yang setiap hari mendatanginya untuk memberikan makanan. Si pengemis buta ini pun bertanya, siapa namanya, berasal dari mana, suruhan siapa, dll. Tapi, orang tersebut tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan si pengemis. Pada intinya, orang tak dikenal itu setiap hari memberi makanan kepada si pengemis buta.
Sampailah pada suatu ketika. Ia merasakan kehadiran orang lain yang memberinya makanan. Pengemis buta pun bertanya, “siapakah engkau? ke mana orang yang biasa memberiku makanan? Ia biasa melembutkan makananku”, orang itu menjawab, “Aku adalah sahabat Nabi. Yang setiap hari memberimu makanan adalah Nabi Muhammad. Sekarang ia sudah wafat.”
Alangkah terperanjatnya si pengemis buta itu. Ternyata yang dia maki-maki selama ini adalah orang yang setiap hari memberinya makanan yaitu Nabi Muhammad. Tak kuasa menahan penyesalan, ia menangis terseduh-seduh dan konon dari peristiwa tersebut ia pun masuk islam.
Islam adalah Akhlaq, dan puncak akhlaq adalah kemanusiaan!
Kita sudah mengetahui dengan jelas bahwa tugas Nabi turun ke dunia adalah untuk menyempurnakan akhlaq. Kenapa turun di negeri Arab? di Mekkah tepatnya. Sebab pada era-era yang disebut jaman jahiliyyah. Orang Arab kuno sering berperilaku tidak humanis. Misalnya, sengaja mengubur hidup-hidup bayi perempuan, menyiksa orang yang tak mengikuti kepercayaan nenek moyang (baca: paganisme), sering bertikai hanya karena urusan sepele.
Sehingga, datangnya nabi membawa satu misi minadzulumati ilannurr. Nabi menyibak zaman kegelapan itu dengan mengenalkan ajaran islam yang humanis salah satunya memuliakan perempuan. Yakni melarang umatnya agar tidak mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Sikap Nabi untuk memuliakan perempuan terkonfirmasi pada sabdanya, “Orang mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang memiliki akhlak mulia dan sebaik-baiknya kamu adalah dia yang berperilaku baik terhadap perempuan.” (HR Tirmidzi).
Lalu, nabi juga tak memaksakan kehendak atas iman orang lain. Tugas nabi hanya tabligh (menyampaikan). Kembali pada kita yang menerima mauu mengikutinya atau tidak adalah urusan personal. Maka di sini nabi berusaha berperilaku laa ikhraha fiddin. Artinya, Nabi tak pernah memaksa seseorang untuk mengikuti ajarannya. Jadi, sikap orang Arab kuno manakala menyiksa orang-orang yang tak mengikuti ajaran nenek moyang adalah satu bentuk dehumanisasi.
Sebagaimana kisah Bilal bin Rabbah yang disiksa oleh Umayyah bin Khalaf karena telah berbaiat kepada Nabi Muhammad. Prof. Juan Cole menuliskan kisah Bilal bin Rabbah dalam bukunya yang berjudul Muhammad: Juru Damai Di Tengah Benturan Imperium Besar Dunia (2019). Prof. Juan Cole menuturkan, “Diriwayatkan bahwa Ummayah bin Khalaf dari kabilah Jumah membawanya keluar di tengah teriknya siang hari, menyuruhnya berbaring, kemudian menindihnya dengan batu besar di atas dadanya. Ibnu Hisyam menegaskan bahwa Umayyah memberi tahu budak itu, ‘kau akan tetap di sini sampai mati atau tinggalkan Muhammad dan sembahlah Latta dan Uzza’, Dia (Bilal) menolak dan terus berbisik dengan bibir kering di tengah penyiksaan ini, ‘ahad! Ahad!’ (satu!, satu!)”
Bagi Nabi Muhammad. Urusan keimanan adalah satu hal personal yang nggak bisa dipaksakan begitu saja. Sebab apapun yang menyangkut believe system (system kepercayaan) adalah Allah yang mampu mengubahnya melalui hidayah. Maka, oleh sebab itu Nabi nggak memaksa terhadap siapapun dalam beragama, yakni dengan menghoramti hak-hak individual mereka utamanya dalam menentukan keimanan.
Bahkan, Nabi sempat mengegur Usamah bin Zaid karena saat berada di medan pertempuran ia dengan sengaja menebas musuh yang terpojok dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Meski Usamah berkilah, “Maaf, Nabi. Dia syahadat kan cuma agar lolos saja.” Namun, Nabi menjawab, “Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawaalla al-sarair” (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah SWT menghukum apa yang tersimpan di hati orang).
Begitulah kurang lebih sikap nabi saat berperilaku di masyarakat. Ia menempatkan humanisme sebagai parameter dakwahnya. Bukan asal sentil, apalagi main kafir-kafiran dan kekerasan, nggak lah!
Islam rahmatan lil alamin berarti bagaimana cara umat islam agar mampu memandang tiap masalah secara universal. Bukan dengan pandangan sempit yang berpihak pada kelompoknya saja. Berlaku humanis di manapun akan membawa dampak kedamaian dan kerukunan antar sesame. Itulah yang diinginkan Nabi. Kita nggak usah sok-sok kaget dan anti terhadap orang yang berlainan keyakinan dengan kita.
Agar humanisme muncul pada diri kita, maka kita perlu mengakitifkan dengan cara:
Pertama, sadari bahwa semua manusia di sekeliling kita perlu dihargai dan dihormati. Artinya, perilaku apapun yang mereka lakukan adalah kehendak bebas sebagai makhluk yang merdeka. Maka, kita tak sepatutnya mengintervensi dengan hal-hal yang membuat mereka terganggu. Selagi nggak merugikan kita, tidak mengganggu keamanan beribadah kita, tak menyalahi kaidah kebangsaan dan taat norma yang berlaku. Tiada yang salah, bukan?
Kedua, tak semua orang mendapat keberuntungan yang sama. Mari ulurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Posisikanlah orang yang nggak seberuntung dirimu menjadi ladang untuk berbuat baik: fastabiqul khairat.
Ketiga, jadikan Nabi sebagai acuan barometer humanisme. Sebab, nabi adalah teladan utama yang dapat menuntun umat. Sudah jelas bahwa Kanjeng Nabi adalah pribadi yang ma’shum. Maka, meneladani karakter Nabi dalam hal ini adalah nilai etik primer.
Mari berhumanis, sebab kata-kata manis juga butuh aksi yang islamis.
Oleh: Akhmad Gunawan Wibisono