Resolusi Konflik Keagamaan dan Kerukunan Umat Beragama
Oleh: Huril Maula
Untuk Satu Fokus
Menata Persatuan Kebangsaan Menuju Kerukunan
Jikalau membicarakan kebangsaan, tentu tidak lepas dari pembahasan persatuan dan kesatuan, bahkan sampai pada taraf pengokohan persatuan itu. Indonesia misalnya, menempatkan ikrar “persatuan” dalam sila ke-3 Pancasila. Kalau membicarakan persatuan suatu kebangsaan, tentu tak lepas dari pembahasan kerukunan, toleransi antaragama, hubungan baik antar rakyat dan pemerintah, kekompakan dan hal-hal lain untuk sama-sama fokus menuju tujuan yang baik bagi stabilitas agama, sosial, ekonomi, dan politik. Pembahasan persatuan dan kerukunan sesungguhnya memerlukan “Satu drum kopi”. Namun, karena porsi kita hanya “Secangkir kopi” kita ambil inti-intinya saja.
Pertama, harus dicatat bahwa kita semua memang butuh pada romantika persatuan dan kesatuan yang bukan hanya berangkat dari kesepakatan dan anggukan kepala antara pemerintah dan rakyat. Namun, masih bengong dan bingung harus apa dan bagaimana menindaklanjuti. Lebih dari itu, keprihatinan terhadap krisis nasional yang telah atau sedang dialami oleh seluruh bangsa Indonesia butuh penghayatan mendalam, apalagi dalam menangani berbagai konflik; konflik keagamaan, sosial, politik dan lain sebagainya. Belum lagi masalah kepercayaan rakyat pada pemimpin negara yang berada di ambang “Pasang surut”, bahkan terbenam.
Jikalau kita menoleh pada catatan sejarah bangsa terdahulu, sebelum Soeharto lengser, petanya adalah rakyat melawan penguasa. Sesudah Soeharto lengser, ada peta baru yang memedihkan: polarisasi antara kekuatan non-Islam melawan Islam. Kemudian bangsa telah sampai di masa ini: Islam yang saling melawan satu sama lain, yang kelompok sini melawan kelompok sana, yang Ormas sini melawan Ormas sana, yang madzhab ini meremehkan madzhab sana. Munculnya organisasi keagamaan seperti Laskar Jihad misalnya tak jarang membawa benturan antara pemeluk atau kelompok keagamaan. Padahal, Islam sendiri damai-damai saja. Belum lagi konflik keagamaan antara Islam dan non-Islam. Sekadar contoh adalah menyeruaknya Konflik Poso dan Ambon (Zuly Qodir. 2018: 126-134) disusul dengan konflik-konflik keagamaan yang lainnya1.
Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang, 2 namun gejolak politik atas nama agama nyerocos tiada henti sampai berbusa. Busanya tumpah di bumi nusantara. Meresahkan alam, menyayangkan manusia sebagai Khalifah fi Ardhi al-Indonisi. Romantika Khalifah fi Ardhi al-Indonisi bukannya tidak pernah dan tidak sedang dicapai Indonesia. Dulu sampai kini, Indonesia tidak pernah sepi dari orang yang menginginkan terciptanya romantika itu. Saya yakin masih ada banyak kepala yang memiliki cita-cita luhur untuk menyaring Indonesia dari kesuraman perdamaian antaragama, kebusukan pelaku, pencipta kerusakan, pelaku korupsi dan berbagai keburaman nasional lainnya. Namun, kepala-kepala yang memiliki ide itu masih cerai berai, belum menyusun kekuatan bahkan yang lebih miris lagi hanya diam di tengah semrawutnya kekuasaan. Jika mau bergerak pun, ternyata masih ada pagar-pagar pembatas gerak itu.
Umpama mahasiswa, banyak kita jumpai mereka bergerak untuk menciptakan perubahan nasional ke arah lebih baik. Semua mengacungkan jempol dan menyepakati aspirasi prinsipiel gerakan mahasiswa. Spektrum idealisme yang mereka perjuangkan pasti juga di sekitar keadilan serta kedaulatan rakyat dan demokratisasi. Mereka meminta pemerintah mengatasi berbagai masalah yang menimpa bangsa, baik dari segi agama, ekonomi maupun politik.
Umpama santri, banyak kita jumpai mereka bergerak untuk menciptakan kemaslahatan sosial dengan menggaungkan dakwah Islami dan menyalurkan nutrisi spiritual bagi jiwa-jiwa manusia di Indonesia. Hal ini berangkat dari latar belakang yang tidak dapat dipungkiri juga, orang-orang Indonesia sibuk; sibuk mencuri, menggosip, mengkorup, menista agama, membunuh dan kekejaman merampas hak anak yatim.
Sekarang, kita tilik makna gerakan mahasiswa dan santri. Gerakan mahasiswa adalah sebagai pressure group atau “kelompok penekan” (Sanit, 1999: 46)3, sedangkan santri sering diagung-agungkan sebagai Sābiq al-Khayr, Nāib al-Ulamā`, Tārik al- Ma’āṣī, Rāji’ ila Qaumihi Linasyri al-’Ilmi.4 Berarti, keduanya layak disebut power negara, apalagi dengan indahnya cerita perjuangan santri dahulu yang melawan penjajah Indonesia di era kemerdekaan. Sebab mereka sangat paham betapa keagamaan dan spirit kebangsaan telah digemborkan Rasulullah Ṣallā Allah Alayhi wa Sallam. Jikalau kedua power itu menyatukan langkah untuk membangun Indonesia ke arah lebih bagus, ditambah juga dengan partisipasi pemerintah dan rakyat, maka kemungkinan pertama adalah kemungkinan yang menjurus pada Indonesia Bersih dan Makmur. Namun, kenyataan yang saya jumpai di lapangan adalah pemerintah sekarang tidak sejalan dengan gema suara rakyat. Hal ini sudah menjadi topik hangat pada masa Pandemi. Pandemi belum pergi, masalah besar lain bermunculan; mulai dari isu korupsi Bansos Covid 19, pembunuhan 6 laskar Ormas FPI oleh polisi (sampai saat ini belum ditemukan titik kejelasan, sedangkan pihak pemerintah apalagi presiden hanya diam saja, malah tidak mengucapkan bela sungkawa). Belum lagi isu kekecewaan para ulama NU kepada Menag baru, Yaqut, yang telah memicu pecah belah umat tentang ucapan kontroversialnya; akan melindungi kaum minoritas seperti Syi’ah.
Masih Setengah Mentah…
Tampaknya pula, kita sudah bisa menebak-nebak bahwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia masih setengah mentah. Peta penyatuan langkah untuk menuju pengokohan persatuan dan kesatuan bangsa masih tercerai berai, tak terbentuk, tak tersusun, tak terorganisir, tak jelas wajah anggunnya. Akibatnya, ekonomi rakyat terluntang-luntang, pendidikan dientengkan, yang mengaku muslim memusuhi muslim lain sebab suatu perbedaan, yang sini menista agama, yang situ hanya ternganga, yang sini pelecehan, yang situ kelaparan dan seterusnya. Tidak ada yang menunjukkan pikiran kreatif, otak cerdas, dan sikap santun sosial semisal memelopori dan mengajak rakyat untuk bekerjasama mencapai perimbangan ekonomi atau bisa pula memprakarsai gerakan.
3 Luthfi Hamzah Husin, Gerakan Mahasiswa sebagai Kelompok Penekan: Studi Kasus Keluarga Mahasiswa UGM dari Masa Orde Lama hingga Pasca-Reformasi, Yogyakarta: Penerbit PolGov, 2014. 4 Penulis mencatat makna santri di suatu pengajian yang diadakan pesantren Annuqayah daerah Lubangsa pada peringatan Hari Santri, 22 Oktober 2017. Besar nasional untuk menciptakan perimbangan ekonomi, agar bisa dimanfaatkan untuk penghuni strata ekonomi yang lebih rendah. Atau bisa pula bekerjasama di bidang agama, pertahanan kebudayaan, politik dan seterusnya.
Di Indonesia memang hampir mustahil dilakukan inisiatif semacam itu. Masalahnya sederhana saja: bangsa Indonesia sudah lama tidak memiliki kepercayaan kepada para pemimpinnya, apalagi yang menyangkut uang.
Apa nanti tidak dicuri sendiri oleh pengurusnya?
Lha wong sumbangan triliyunan rupiah bagi korban Covid 19 saja hanya sampai sebagian pada rakyat. Bagaimana akan bersatu menuju persatuan dan kesatuan bangsa, jika sejarah kelam antara pemimpin dan rakyat masih bergaung di bumi nusantara ini?
Untuk Satu Fokus…
Mari sejenak kita menghembuskan napas. Membuka hati nurani dan mengadilkan persepsi. Kita jangan dulu membuat suatu keputusan bahwa kita ayam yang kehilangan induknya. Kita pun jangan sikut-sikutan satu sama lain. Bagaimana pun wajah bangsa, sesengkarut apa pun rupa bangsa, tetap menjadi tanggung jawab kita sebagai makhluk Indonesia.
Kita menemukan hikmah dari krisis yang kita alami. Hikmahnya sekarang adalah kita mulai berani berpikir bahwa negara ternyata bisa salah. Dari dulu kita tidak pernah berani berpikir bahwa negara ternyata juga bisa salah. Presiden, menteri, camat dan lurah juga bisa salah. Semoga mereka berintrospeksi diri; “Ternyata saya bisa salah”. Salah telah membuat ketidaknyamanan antar satu sama lain, salah telah memporakporandakan kepercayaan rakyat, salah telah mencerai-beraikan kehidupan yang seharusnya harmonis dan kompak, hingga persatuan dan kesatuan bangsa di satu sisi tergiring entah ke mana, sedang di sisi lain tergiring pada perpecahan yang berbahaya bagi “kesehatan” bangsa Indonesia.
Rakyat kecil macam kita hanya punya satu jalan untuk lebih selamat dari benturan di “lapangan bawah”, yakni saling berendah hati, tidak tergesa menyimpulkan sesuatu, memelihara persaudaraan dan keyakinan baik, menghindari pertumpahan darah satu sama lain dan menjalin kerukunan beragama. Hal yang paling penting, kita melihat pada satu
fokus, satu titik yang akan kita perjuangkan bersama, yaitu hijrah dari situasi jahiliah menuju situasi tauhid. Hijrah dari situasi penuh korupsi dan non-akhlak, menuju keadaan yang berakhlak Islamiah. Kita fokuskan perhatian kita pada titik perjuangan, yaitu keadilan sosial. Kita berusaha terus untuk meningkatkan keberanian, meningkatkan kejujuran, keterbukaan, transparansi, dan saling mendukung satu sama lain, tanpa melihat warna kulit dan perbedaan agama.
Tanpa bermaksud mengecam siapa-siapa, kita belajar satu sama lain. Kita mensyukuri adanya gerakan mahasiswa, kita mensyukuri kiai-kiai yang berani membantu rakyat dan seterusnya. Kita juga bisa memetakan agenda perubahan nasional, terutama perubahan “Nasional di hati” kita. Nomor satu yang harus kita lakukan adalah tobat, kita ubah cara berpikir supaya mengubah perhitungan akal sehat dan nurani.
Nomor dua yang harus kita lakukan adalah mengakhiri kesibukan untuk “Menatap wajah” sendiri dan mulai bersama-sama menatap satu fokus perjuangan. Bersama-sama membangun kembali peradaban Indonesia yang pancasilais, demi terorganisirnya kesatuan dan persatuan supaya tidak berat sebelah, seimbang dan kokoh. Maksud saya: biarlah saya Syiah, biarlah dia Sunni, biarkan yang itu agak kekiri-kirian, yang sana Saminian, yang sono Aminian, yang situ Gusdurian, dan yang sini Durian… hari ini yang sama-sama kita butuhkan bukan tentang kita. Hari ini urgensi kita adalah satu fokus: bangsa ini harus diselamatkan. Bukannya Allah berfirman dalam kitab suci-Nya:
َوا ْعتَ ِص ُموا ِِبَبْ ِل ا هَّللِ ََِجيعًا َوََل تَ.َفهرقُوا األية4…
Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah secara keseluruhan, dan janganlah bercerai berai/terpecah belah.5
Nomor tiga yang harus kita lakukan adalah memulai saling berempati satu sama lain, saling menghargai perbedaan dan mensyukuri potensi pihak lainnya, menghentikan penyakit jiwa saling curiga dan intersinisme, mengistirahatkan kebiasaan berprasangka buruk dan fitnah, mulai menggagas jaringan, penyatuan, dan sinergi nasional. Karena
4 QS. Ali Imrān, 3:103.
5 Al-Qur`an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan, Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta: 2019, 84.
memang integrasi Nasional melahirkan integrasi politik, maka harus saling bersatu, saling menyatu dan saling bertahan antara rakyat dengan pemerintah agar tidak menyebabkan kesalahfahaman bahkan saling menyalahkan satu sama lain. Integrasi Nasional menjadi bagian dari pembahasan negara, bagaimana rakyat yakin dengan negara, bagaimana daerah atau wilayah mau menggabungkan diri di Indonesia. Dalam organisasi pasti ada yang namanya pelopor dan pengekor, maka yang terpenting dalam integrasi nasional adalah bersatu dan bertahan. Ya, untuk satu fokus itu.
Daftar Pustaka
Al-Qur`an
Al-Qur`an dan Terjemahannya Edisi Penyempurnaan 2019, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Aziz Faiz, Abd. 2019. Jurnal Sosiologi Agama 13(2):1. Yogyakarta, Ejournal.uin-suka.ac.id.
Wahid, Abdurrahman. 1982. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Majalah Tempo.
Husin, Luthfi Hamzah. 2014. Gerakan Mahasiswa sebagai Kelompok Penekan: Studi Kasus Keluarga Mahasiswa UGM dari Masa Orde Lama hingga Pasca Reformasi. Yogyakarta: Penerbit PolGov.